Skip to main content

Masih Melayani Sendiri?


Pulling in the same direction
Saya suka makan kway teow. Oh, tentu saja saya punya rumah makan langganan. Biasanya saya dan keluarga suka makan ke sana. Memang tempatnya gak bagus, tapi gak apa-apa. Yang penting enak. Pemiliknya juga selalu baik dan ramah. Ini yang penting! Selalu beliau sendiri yang jaga kasir. Sehingga tamu-tamu juga jadi betah. Bertahun-tahun saya jadi langganan tetap di sana.
Namun setelah beberapa lama, pemiliknya mulai tidak menjaga kasir lagi. Digantikan oleh saudara atau pegawainya. Seperti banyak bisnis lainnya, tidak mungkin pemiliknya terus yang menjaga dagangannya. Ya kan? Di sinilah kisah seru mulai terjadi.
Malam itu, kami mau makan. Sebelum masuk, anak saya tidak sengaja (maaf) muntah . Pas di trotoar depan rumah makannya, bahkan bukan di dalam restonya. Istri saya langsung mohon maaf. Permohonan maaf ini langsung ‘disambut’ oleh pegawainya, yang menyuruh istri saya langsung ke WC, untuk mengambil tongkat pel. Istri saya disuruh mengepel sendiri bekas muntah anak saya!!
Tentu saja sejak saat itu saya nggak pernah lagi ke sana. Malam itu, seorang tamu langganan yang sudah bertahun-tahun, hilang! Hilang karena satu kalimat nggak enak dari karyawannya. Hilang karena bahkan setelah kami masukpun, pelayanannya memang ga enak sama sekali.
Saya yakin kejadian ini sering terjadi di tempat lain. Kita tidak mau lagi mengunjungi sebuah restoran kini dan sepanjang masa. Anda mungkin juga pernah mengalaminya, Betul?
Apakah anda tidak mau mengunjungi lagi karena makanannya gak enak? Saya yakin bukan cuma karena itu. Yang membuat kita tersinggung dan tidak akan mau berkunjung lagi, karena servicenya yang ‘busyuk‘. Ini yang membuat orang begitu tersinggung.

Tentu saja bila anda pemilik bisnis, anda bisa melayani customer dengan baik. Namun bagaimana dengan seluruh karyawan anda? Apa anda akan terus melayani sendiri?

Ayo jawablah pertanyaan saya. Seberapa besar dana dan usaha yang habiskan untuk merebut client? Bolehkah anda jawab?
Seberapa besar dana dan usaha yang anda habiskan untuk mempertahankan client? Jawablah. Apakah sama besar atau lebih besar?
Seberapa cepat anda bisa kehilangan client? Jawablah. Apakah secepat sentikan jari?
Pertanyaan terakhir saya, pentingkah membangun budaya service di perusahaan anda? Bila penting, seberapa besar investasi yang anda mau keluarkan?
Salam Dahsyat!
Anda boleh menggunakan artikel ini di newsletter, website atau publikasi, dengan syarat tetap melampirkan kalimat lengkap di bawah dengan link aktif ke website:
Copyright, Hendrik Ronald. Digunakan dengan izin. Hendrik Ronald adalah Trainer dan Coach Service Excellence. Untuk mendapatkan pelatihan dan artikel lainnya, silakan kunjungi www.HendrikRonald.com

Comments

Popular posts from this blog

Service Excellence

Hal-hal Kecil Itu Penting Kok Tepat 1 (satu) hari sebelum saya sakit DBD, saya duduk di sebuah cafe dengan teman saya. Beliau mengatakan bahwa sekarang menu utama cafe adalah “stop kontak” dan “Wi-Fi”. Kami yang mendengarnya tertawa dan setuju. Sekarang banyak sekali orang yang ke cafe membawa laptop atau charger handphone-nya. Namun tidak banyak cafe yang menyediakan stop kontak. Ini sebenarnya hal kecil, namun cukup untuk “mengusir” tamu-tamunya. Malam ini saya menginap di Hotel Narita – Tangerang. Saya menemukan bahwa mereka meletakkan 1 buah mangkok bening cantik di ujung bath tub. Isinya adalah sabun! Ketika saya melihat sabun ini, saya tersenyum. Biasanya saat mandi di hotel, kita lupa ambil sabun. Hasilnya setelah berbasah-basah ria, saya harus memanjat keluar dari bath tub untuk mengambil sabun yang diletakkan di dekat westafel. Namun di Narita berbeda. Hal kecil yang membuat saya tersenyum. Hotel Komaneka Ubud, adalah salah satu hotel favorit saya. Setiap kali bot...

Service Anda Mulai Bobrok? Begini Cara Memperbaikinya!

“Boleh saya kasih saran, dik?”  Begitu sapa saya kepada yang mengantarkan Chili Dog buat istri saya sore tadi.  “Jelas anda lupa mencatat orderan saya, lalu akhirnya istri saya harus menunggu lama. Yang lain sudah selesai makan, orderan dia baru datang. Setidaknya yang bisa kamu lakukan adalah minta maaf. Itu saja…” , saya coba menjelaskan. Diapun menjawab,  “Bukan begitu pak, saya itu cuma tukang masak aja. Yang salah itu dia” , katanya sambil menunjuk temannya. “Dia yang gak catat orderan bapak”. Saya coba menasehati lagi,  “Ya, ga masalah. Memang dia lupa. Tapi customer kan gak mau tau. Customer taunya pesanannya datang lama sekali. Kalau setidaknya kamu minta maaf sedikit saja kan lumayan”.  Diapun kembali berkilah,  “Lho, yang salah dia kok.” Akhirnya saya mengalah (daripada saya jadi gila). Saya menunggu istri saya menyelesaikan makan chilli dog. Lalu saya ke kasir. Saya menyampaikan kepada kasir,  “Jujur, kalau ditanya sa...

How Good Is Your Listening Skill?

Dalam dunia service dan bisnis, kita sebaiknya mendengarkan. Kita mendengarkan untuk didengarkan. Bagaimana kita bisa melayani konsumen dengan baik kalau kita tidak pernah mendengarkan? Bagaimana mau menghasilkan Excellent Product kalau tidak mau mendengarkan? Kalau seandainya ada pilihan,  “Mana yang lebih baik, enak di customer atau enak di kita?”.  Sebagian pilih ‘enak di kita’, sebagian besar pilih ‘enak di konsumen’. Namun saran saya, pilih yang enak buat dua-duanya. Namun, kalau anda harus memilih, pilih yang lebih enak di konsumen. Mereka yang membayar gaji kita. Sebaiknya kita sadar. Sering kita berusaha memborbardir konsumen dengan iklan kita. Berharap saat kita beriklan konsumen akan berlomba-lomba membeli. Jarang dari kita yang memberikan nilai tambah kepada calon konsumen kita ini. Kita terus jual-jual-jual. Kita berharap customer terpengaruh. Kita minta didengar-didengar-didengar. Bisakah kita didengar dengan cara ini? Di sekolah kita diajarkan...